Bahasa Budaya Sunda



Bahasa Budaya Sunda
Oleh : Elin Melina

Sunda adalah sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke 8 sebagai lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaan berada di sekitar Bogor, sejarahnya sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk ke kuasaan kompeni Belanda sejak 1610 dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram sejak 1625.
Suku sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Masyarakat sunda mengartikan kata “sunda” menjadi beberapa pengertian :
  Sunda, dari kata “Saunda”, berarti Lumbung bermakna (subur dan makmur)
  Sunda, dari kata “Sonda”, berarti bahagia
  Sunda, dari kata “Sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati
  Sunda, dari kata “Sundara”, berarti lelaki yang tampan
  Sunda, dari kata “Sundari”, berarti wanita yang cantik
  Sunda, dari kata “Sundara”, nama dewa kamaja (penuh rasa cinta kasih)
  Sunda berarti indah
Jika dilihat dari arti Sunda diatas, tidak ada satupun arti yang kurang baik, hampir semua artinya baik. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan masyarakat sunda adalah pengharapan akan kebaikan dalam setiap aspek kehidupan.           
Bagaimana Pola Hidup Suku Sunda
            Pola hidup masyarakat suku sunda adalah berladang. Komunitas peladang ini hidupnya cenderung berpindah-pindah atau nomaden, dan budaya bersawah memang kemudian dikenal pada masa pajajaran. Namun area persawahan pada masa itu pun hanya berada di wilayah yang berdekatan dengan kota Pakuan. Sedangkan masyarakat sunda di luar Pakuan tetap bekerja sebagai peladang.
            Para petani menggarap sawah mereka untuk keperluan orang-orang kota Pakuan semacam bangsawan, bukanlah untuk diri mereka pribadi. Masyarakat hanyalah patut dan tunduk oleh para bangsawan.
            Selain bekerja sebagai peladang, masyarakat sunda juga ada yang bekerja sebagai penggali saluran untuk menangkap ikan, dan untuk masyarakat yang hidup di pesisir pantai atau pun laut mereka akan mencari nafkah dengan menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring. Pola hidup bertani dan berladang itu pasti dilakukan oleh masyarakat sunda, biasanya masyarakat peladang bertani di perbukitan dan masyarakat petani (persawahan) bertani di daerah yang lebih lembab.
Bagaimana 7 Unsur Kebudayaan Suku Sunda
Unsur-unsur kebudayaan suku sunda adalah :
1.    Sistem Peralatan dan Teknologi
            Sistem peralatan masyarakat sunda terdapat pada senjata tradisionalnya yaitu kujang. Senjata seperti kujang ini disimpan sebagai pusaka yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkan di atas tempat tidur. Menurut sebagian orang kujang mempunyai kekuatan tertentu yanng berasal dari dewa (Hyang), kujang juga dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa organisasi serta pemerintahan. Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat sunda, kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral.
            Berdasarkan fungsi kujang terbagi menjadi empat antara lain, Kujang Pusaka             (lambang keagungan dan perlindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak (sebagai alat upacara), Kujang Pamangkas ( sebagai alat berladang).
Teknologi di masyarakat sunda pula saat ini sudah berkembang pesat, masyarakat saat ini sudah banyak mengenal dan bahkan memiliki benda-benda elektronik, tetapi adapula masyarakat sunda yang masih kental dengan adat dan menghindari tentang adanya teknologi dan unsur modern. Contohnya adalah masyarakat baduy. Mereka memang tidak begitu suka dengan perubahan teknologi, karena bagi mereka adat leluhur dari nenek moyang haruslah tetap dijalankan
 2.    Bahasa          
Bahasa sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu bahasa untuk membedakan golongan usia dan status sosial antara lain, yaitu :
Bahasa sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang dituakan atau disegani.
Bahasa sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status sosialnya
Bahasa sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status sosialnya lebih rendah.
Namun demikian di Serang dan di Cilegon, lebih lazim menggunakan bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh teknik pendatang dari suku jawa.

 3.    Mata Pencaharian
Mata pencaharian pokok masyarakat sunda adalah :
  Bidang perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet dan kina
  Bidang pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran
  Bidang perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau
  Selain bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, peternak.
4.    Organisasi Sosial / Sistem Kemasyarakatan
Sistem kekerabatan yang digunakan adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu mengikuti garis keturunan kedua belah pihak orang tua yaitu bapak dan ibu. Dalam keluarga sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku sunda.
Dalam bahasa sunda dikenal pula kosa kata sejarah dan sarsilah (silsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sejarah adalah susun galur atau garis keturunan. Pada saat menikah, orang sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, penggantin baru bisa tinggal di tempat kediaman istri atau suami tetapi pada umumnya mereka memilih tinggal di tempat baru atau neolokal. Dilihat dari sudut ego, orang sunda mengenal istilah tujuh generasi keatas dan tujuh generasi ke bawah, antara lain yaitu :
Tujuh generasi keatas :
            Kolot,  Embah, Buyut, Bao, Janggawareng, Udeg-udeg, Gantung Siwur
Tujuh Generasi Kebawah :
            Anak, Incu, Buyut, Bao, Janggawareng, Udeg-Udeg, Gantung Siwur
5.    Sistem Pengetahuan
            Pendidikan di suku sunda sudah dibilang sangat berkembang baik. Terlihat dari peran pemerintah Jawa Barat. Pemerintah Jawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi dalam pelayanan pemerintah. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital dan fundemental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di bidang lainnya. Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan lainnya, menginggat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.
            Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa mempertimbangkan karekteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku sunda memiliki potensi budaya dan karekteristik tersendiri, baik secara sosiologis-antropologis, falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui memiliki makna yag sangat mendalam.
6.    Kesenian
Masyarakat sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat jenis kesenian diantaranya seperti :
   Seni Bangunan
Rumah adat tradisional msayarakat sunda adalah berbentuk keraton kesepuhan cirebonan yang memiliki 4 ruang, yaitu sebagai berikut :
1.    Pendopo yaitu tempat untuk keselamatan sultan
2.    Pringgondani yaitu tempat untuk sultan memberikan perintah kepada adipati
3.    Prabayasa yaitu tempat sultan menerima tamu (ruang Tamu)
4.    Panembahan yaitu ruang kerja dan tempat istirahat sultan
  Seni Tari
Tari yang terkenal di masyarakat sunda adalah tari topeng, tari merak, tari sisingaan dan tari jaipong.
   Seni Suara dan musik
Alaat musik tradisional masyarakat sunda adalah angklug, calung, kecapi, dan degung. Alat musik ini digunakan untuk mengiringi tembang. Tembang adalah puisi yang di iringi oleh kecapi dan suling. Salah satu lagu tradisional masyarakat sunda yaitu : Bubuy Bulan, Manuk dadali dan Tokecang.
  Seni Sastra
Sunda sangat kaya akan seni sastra, contohnya Prabu Siliwangi yang diungkapkan dalam bentuk pantun dan Si Kabayan yang diungkapkan dalam bentuk prosa.
  Seni Pertunjukan
Pertubjukab yang paling terkenal di suku sunda adalah Wayang Golek. Wayang golek adalah boneka kayu dengan penampilan yang sangat menarik dan kreatif.
7.    Religi/Agama
Sebagian besar masyarakat suku sunda menganut Agama Islam, namun ada pula yang beragama kristen, hindhu atau budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama. Contohnya dalam menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta berhaji bagi yang mampu. Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan ghaib. Terdapat juga adanya upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup, mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lain.
Bagaimana Upacara Adat Pengantin Suku Sunda
            Upacara adat pengantin suku sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian acaranya dapat dilihat berikut ini:
a. Sawer
Kedua mempelai duduk di penyaweran, yaitu di halaman rumah tempat cucuran air hujan yang jatuh dari atap rumah dengan dipanyungi. Acara ini dipimpin oleh seorang panembang (penyanyi) yang membawakan tembang yang berisikan nasihat-nasihat orang tua bagi kedua mempelai. Kedua orang tua mempelai menaburi pengantin/nyawer yang bahannya terdiri dari beras kuning, bunga-bungaan, uang kecil/recehan,dan kembang gula yang diperebutkan oleh para tamu; terutama anak-anak.
b. Meuleum Harupat
Meuleum harupat berarti membakar tangkai bunga pinang kering, dimana api yang menyala kemudian ditiup oleh kedua mempelai yang berarti hambatan, kesulitan dan godaan dalam berumah tangga hendaknya dipecahkan bersama-sama. Setelah itu dilakukan acara:
c. Nincak Endog
Nincak endog berarti menginjak telur, dimana pengantin pria menginjak telur yang kemudian kakinya akan dibasuh oleh pengantin wanita. Acara ini bermakna pengabdian seorang istri kepada suaminya. Kemudian dilanjutkan dengan acara:
d. Nincak Songsong
Nincak songsong berarti menginjak songsong, songsong adalah bamboo kecil untuk meniup kayu bakar agar apinya tetap menyala. Setelah itu dilaksanakan acara:
e. Meupeuskeun Kendi
Kendi adalah tempat air dari tanah liat, kendi tersebut dipecahkan bersama oleh kedua mempelai. Acara ini bermakna sebagai penolak bala dalam rumah tangga. Acara dilanjutkan dengan:
f.  Buka Panto
Buka panto berarti buka pintu, yang bermakna permohonan izin seorang suami kepada istrinya untuk hidup berdampingan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Setelah itu dilaksanakan acara:
 g. Huap Lingkung
Huap lingkung berarti kedua mempelai saling menyuapi senagai perlambang keduanya akan saling mengasihi. Kemudian kedua mempelai disuapi oleh orang tua kedua belah pihak sebagai gambaran kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya dan merupakan suapan terakhir dari orang tua. Pada acara huap lingkung diakhiri dengan rebutan bakakak hayam (panggang ayam) sebagai gambaran bahwa rezeki yang dilimpahkan oleh Tuhan hendaknya dinikmati dan disyukuri bersama-sama.
Setelah usai upacara adat ini dilakukan dengan penerimaan ucapan selamat dan do’a restu dari seluruh keluarga, handai taulan dan para tamu. Untuk menuju tempat pelaminan pengantin disambut dengan kesenian yang dipandu oleh seorang lengser, lengser inilah yang akan membawa pengantin dan kedua orang tuanya ke kursi pelaminan. Dalam perjalanan menuju kursi pelaminan, dilakasanakan prosesi seni tari dalam bentuk olah payung kebesaran, umbul-umbul yang diiringi oleh para penari. Sesampainya di kursi pelaminan disuguhkan tarian persembahan. Selanjutnyapara undangan dipersilahkan untuk memberikan ucapan selamat dan do’a restu kepada kedua mempelai.
Sunda Wiwitan adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1] Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; dan Cigugur, Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hinduatau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2] Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.[3]
Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.
Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.
Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih: cinta kasih
Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
Tata krama: tatanan perilaku
Budi bahasa dan budaya
Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Kalau satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya, Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa membahayakan diri sendiri
Akan tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat, Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; dan Cigugur, Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri, satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.[4]
Tempat suci
Tempat suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi, Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh Lapangan Golf.
Pada masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang Barang.
Dengan banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang sekali diketemukan Candi. Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga Tarumanagara adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda adalah Candi Cangkuang yang merupakan candi Hindu pemujaan Siwa dan Percandian Batujaya di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.
Rumah adat sunda, suhunan jolopong, badak heuay, capit gunting, tagog anjing, julung ngapak

Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup)

gambar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgL5LWJhT33elSX3Rdsuq7ES9I6RRy2Q14xerWr5fyqaLiU5oLOHTfr_9aEhlnhfNZYSjRIPdZ951ApQx_OLvHnnjFw44Z-9nFTmL9OatLQ5LfEloQwjx6op8qLuqiRljoJhkduga1J3YUr/s1600/PERAHU+KUMUREB+2.jpg
Suhunan jolopong, yaitu bentuk bangunan yang atapnya (suhunan) memanjang sering disebut suhunan panjang atau gagajahan.
gambar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgrU5Z82WChbD1hnr2MdzeMpO9PtxHE5Yhvr2-DQvQuwsfwAfB8J4oEYn-riPqo6f39xn0b1cxm8oxsti7KK9epMAUcQPSvOwVv2PtSG85oeP2Es4xSQzHbyOMyp3NUqg2XztOf3HHpo4zr/s1600/JOLOPONG+2.png


Tagog anjing, yaitu bentuk bangunan mirip dengan bentuk badak heuay, tetapi ada sambungan kebagian depan dan sedikit turun. Jadi bangunannya tekuk (ngeluk) seperti anjng jongkok.
gambar :
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMCA0GSvFu6RrbLVtijxWbaL9GuxTN0_kJKj-Zk1fdLttyk8q4bpJ9N9sawAuD1B9XCZ4KONWL-mOXY3p8_AxR_RhYMe165l1eVRfrpbMDkeXuGBuzFmDEIwGO_J1J69o1bDZSh-ogg5HR/s1600/TAGOG+ANJING+3.png
Badak heuay, yaitu bentuk bangunan seperti saung tidak memakai wuwung sambungan atap (hateup) depan dengan belakang seperti badak sedang membuka mulutnya (menguap, arti sunda heuay).
gambar :
Capit gunting, yaitu bentuk bangunan rumah yang atap (suhunan) bagian ujung belakang atas dan depan atas menggunakan kayu atau bambu yang bentuknya menyilang dibagian atasnya seperti gunting.
gambar : 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNP6lDIZuvzXvL0R96DIsCbxafMAJqbsJMN2dfUVxtO0cupijBDlgPeF-PPSgLFqsDin9jeCbL_lCDcsO6MSb5wTrUgfB7MXKS2_4F2LMI-sMAoQ-wsi3-FLnHA2Rj1T6M7WpM6oiH6gs0/s1600/CAPIT+GUNTING+2.jpg

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVNnWASpixk5ITa-J8uKdKuyi4dutLBfM3rOPl9ksdj6kxYgnd7Sle1OcvBGxcd3kda0fvM5ccrcAB_E1AuD0wo4n3KF1KCRdbWC_94q9YQK1cQ_wkRTYZpNIF3KcW5qDtK3Wmqu91pK4P/s1600/CAPIT+GUNTING+3.jpg
Image result for nama nama rumah adat sunda


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Babangkongan, Permainan Tradisional dari Kabupaten Bandung yang Hilang ditelan zaman

Asal Usul Cikuya

Surak Sawah Dadap