Bahasa Budaya Sunda
Bahasa
Budaya Sunda
Oleh
: Elin Melina
Sunda
adalah sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke 8 sebagai
lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaan berada di sekitar
Bogor, sejarahnya sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di
Jayakarta (Batavia) masuk ke kuasaan kompeni Belanda sejak 1610 dan dari arah
pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram sejak 1625.
Suku
sunda merupakan kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indonesia, yaitu berasal dan bertempat tinggal di Jawa Barat. Daerah yang juga
sering disebut Tanah Pasundan atau Tatar Sunda. Masyarakat sunda mengartikan
kata “sunda” menjadi beberapa pengertian :
Sunda,
dari kata “Saunda”, berarti Lumbung bermakna (subur dan makmur)
Sunda,
dari kata “Sonda”, berarti bahagia
Sunda,
dari kata “Sonda”, berarti sesuai dengan keinginan hati
Sunda,
dari kata “Sundara”, berarti lelaki yang tampan
Sunda,
dari kata “Sundari”, berarti wanita yang cantik
Sunda,
dari kata “Sundara”, nama dewa kamaja (penuh rasa cinta kasih)
Sunda
berarti indah
Jika
dilihat dari arti Sunda diatas, tidak ada satupun arti yang kurang baik, hampir
semua artinya baik. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan masyarakat sunda adalah
pengharapan akan kebaikan dalam setiap aspek kehidupan.
Bagaimana Pola Hidup Suku Sunda
Pola hidup masyarakat suku sunda
adalah berladang. Komunitas peladang ini hidupnya cenderung berpindah-pindah
atau nomaden, dan budaya bersawah memang kemudian dikenal pada masa pajajaran.
Namun area persawahan pada masa itu pun hanya berada di wilayah yang berdekatan
dengan kota Pakuan. Sedangkan masyarakat sunda di luar Pakuan tetap bekerja
sebagai peladang.
Para petani menggarap sawah mereka
untuk keperluan orang-orang kota Pakuan semacam bangsawan, bukanlah untuk diri
mereka pribadi. Masyarakat hanyalah patut dan tunduk oleh para bangsawan.
Selain bekerja sebagai peladang,
masyarakat sunda juga ada yang bekerja sebagai penggali saluran untuk menangkap
ikan, dan untuk masyarakat yang hidup di pesisir pantai atau pun laut mereka
akan mencari nafkah dengan menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk
ikan, merentang jaring. Pola hidup bertani dan berladang itu pasti dilakukan
oleh masyarakat sunda, biasanya masyarakat peladang bertani di perbukitan dan
masyarakat petani (persawahan) bertani di daerah yang lebih lembab.
Bagaimana 7 Unsur Kebudayaan Suku Sunda
Unsur-unsur
kebudayaan suku sunda adalah :
1.
Sistem Peralatan dan Teknologi
Sistem peralatan masyarakat sunda
terdapat pada senjata tradisionalnya yaitu kujang. Senjata seperti kujang ini
disimpan sebagai pusaka yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya
dengan meletakkan di atas tempat tidur. Menurut sebagian orang kujang mempunyai
kekuatan tertentu yanng berasal dari dewa (Hyang), kujang juga dipakai sebagai
salah satu estetika dalam beberapa organisasi serta pemerintahan. Dengan
perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat sunda,
kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari
sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang
memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai
simbolik dan sakral.
Berdasarkan fungsi kujang terbagi
menjadi empat antara lain, Kujang Pusaka
(lambang keagungan dan
perlindungan keselamatan), Kujang Pakarang (untuk berperang), Kujang Pangarak
(sebagai alat upacara), Kujang Pamangkas ( sebagai alat berladang).
Teknologi
di masyarakat sunda pula saat ini sudah berkembang pesat, masyarakat saat ini
sudah banyak mengenal dan bahkan memiliki benda-benda elektronik, tetapi
adapula masyarakat sunda yang masih kental dengan adat dan menghindari tentang
adanya teknologi dan unsur modern. Contohnya adalah masyarakat baduy. Mereka
memang tidak begitu suka dengan perubahan teknologi, karena bagi mereka adat
leluhur dari nenek moyang haruslah tetap dijalankan
2.
Bahasa
Bahasa
sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu bahasa untuk membedakan
golongan usia dan status sosial antara lain, yaitu :
Bahasa sunda
lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang
dituakan atau disegani.
Bahasa sunda
sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status
sosialnya
Bahasa sunda
kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status
sosialnya lebih rendah.
Namun
demikian di Serang dan di Cilegon, lebih lazim menggunakan bahasa Banyumasan
(bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh teknik pendatang dari suku jawa.
3.
Mata Pencaharian
Mata pencaharian
pokok masyarakat sunda adalah :
Bidang
perkebunan, seperti tumbuhan teh, kelapa sawit, karet dan kina
Bidang
pertanian, seperti padi, palawija, dan sayur-sayuran
Bidang
perikanan, seperti tambak udang, dan perikanan ikan payau
Selain
bertani, berkebun dan mengelola perikanan, ada juga bermata pencaharian sebagai
pedagang, pengrajin, peternak.
4.
Organisasi Sosial / Sistem Kemasyarakatan
Sistem
kekerabatan yang digunakan adalah sistem kekerabatan parental atau bilateral,
yaitu mengikuti garis keturunan kedua belah pihak orang tua yaitu bapak dan
ibu. Dalam keluarga sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan
kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat
istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku sunda.
Dalam
bahasa sunda dikenal pula kosa kata sejarah dan sarsilah (silsilah, silsilah)
yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam
bahasa Indonesia. Makna sejarah adalah susun galur atau garis keturunan. Pada
saat menikah, orang sunda tidak ada keharusan menikah dengan keturunan tertentu
asal tidak melanggar ketentuan agama. Setelah menikah, penggantin baru bisa
tinggal di tempat kediaman istri atau suami tetapi pada umumnya mereka memilih
tinggal di tempat baru atau neolokal. Dilihat dari sudut ego, orang sunda
mengenal istilah tujuh generasi keatas dan tujuh generasi ke bawah, antara lain
yaitu :
Tujuh generasi
keatas :
Kolot, Embah, Buyut, Bao, Janggawareng, Udeg-udeg,
Gantung Siwur
Tujuh Generasi
Kebawah :
Anak, Incu, Buyut, Bao,
Janggawareng, Udeg-Udeg, Gantung Siwur
5.
Sistem Pengetahuan
Pendidikan di suku sunda sudah
dibilang sangat berkembang baik. Terlihat dari peran pemerintah Jawa Barat.
Pemerintah Jawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan pembangunan
pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi dalam pelayanan
pemerintah. Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat
vital dan fundemental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di
bidang lainnya. Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan
lainnya, menginggat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah membangun
potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.
Dalam setiap upaya pembangunan, maka
penting untuk senantiasa mempertimbangkan karekteristik dan potensi setempat.
Dalam konteks ini masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku sunda memiliki
potensi budaya dan karekteristik tersendiri, baik secara sosiologis-antropologis,
falsafah kehidupan masyarakat Jawa Barat yang telah diakui memiliki makna yag
sangat mendalam.
6.
Kesenian
Masyarakat
sunda begitu gemar akan kesenian, sehingga banyak terdapat jenis kesenian
diantaranya seperti :
Seni Bangunan
Rumah
adat tradisional msayarakat sunda adalah berbentuk keraton kesepuhan cirebonan
yang memiliki 4 ruang, yaitu sebagai berikut :
1.
Pendopo yaitu tempat untuk keselamatan sultan
2.
Pringgondani yaitu tempat untuk sultan memberikan perintah kepada adipati
3.
Prabayasa yaitu tempat sultan menerima tamu (ruang Tamu)
4.
Panembahan yaitu ruang kerja dan tempat istirahat sultan
Seni
Tari
Tari
yang terkenal di masyarakat sunda adalah tari topeng, tari merak, tari
sisingaan dan tari jaipong.
Seni Suara dan musik
Alaat
musik tradisional masyarakat sunda adalah angklug, calung, kecapi, dan degung.
Alat musik ini digunakan untuk mengiringi tembang. Tembang adalah puisi yang di
iringi oleh kecapi dan suling. Salah satu lagu tradisional masyarakat sunda
yaitu : Bubuy Bulan, Manuk dadali dan Tokecang.
Seni
Sastra
Sunda
sangat kaya akan seni sastra, contohnya Prabu Siliwangi yang diungkapkan dalam
bentuk pantun dan Si Kabayan yang diungkapkan dalam bentuk prosa.
Seni
Pertunjukan
Pertubjukab
yang paling terkenal di suku sunda adalah Wayang Golek. Wayang golek adalah
boneka kayu dengan penampilan yang sangat menarik dan kreatif.
7.
Religi/Agama
Sebagian
besar masyarakat suku sunda menganut Agama Islam, namun ada pula yang beragama
kristen, hindhu atau budha, dll. Mereka itu tergolong pemeluk agama yang taat
karena bagi mereka kewajiban beribadah adalah prioritas utama. Contohnya dalam
menjalankan ibadah puasa, sholat lima waktu, serta berhaji bagi yang mampu.
Mereka juga masih mempercayai adanya kekuatan ghaib. Terdapat juga adanya
upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase dalam lingkaran hidup,
mendirikan rumah, menanam padi, dan lain-lain.
Bagaimana Upacara Adat Pengantin Suku Sunda
Upacara adat pengantin suku sunda
merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan pesta
pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian
acaranya dapat dilihat berikut ini:
a. Sawer
Kedua
mempelai duduk di penyaweran, yaitu di halaman rumah tempat cucuran air hujan
yang jatuh dari atap rumah dengan dipanyungi. Acara ini dipimpin oleh seorang
panembang (penyanyi) yang membawakan tembang yang berisikan nasihat-nasihat
orang tua bagi kedua mempelai. Kedua orang tua mempelai menaburi
pengantin/nyawer yang bahannya terdiri dari beras kuning, bunga-bungaan, uang
kecil/recehan,dan kembang gula yang diperebutkan oleh para tamu; terutama
anak-anak.
b. Meuleum
Harupat
Meuleum
harupat berarti membakar tangkai bunga pinang kering, dimana api yang menyala
kemudian ditiup oleh kedua mempelai yang berarti hambatan, kesulitan dan godaan
dalam berumah tangga hendaknya dipecahkan bersama-sama. Setelah itu dilakukan
acara:
c. Nincak Endog
Nincak
endog berarti menginjak telur, dimana pengantin pria menginjak telur yang
kemudian kakinya akan dibasuh oleh pengantin wanita. Acara ini bermakna
pengabdian seorang istri kepada suaminya. Kemudian dilanjutkan dengan acara:
d. Nincak
Songsong
Nincak
songsong berarti menginjak songsong, songsong adalah bamboo kecil untuk meniup
kayu bakar agar apinya tetap menyala. Setelah itu dilaksanakan acara:
e. Meupeuskeun
Kendi
Kendi
adalah tempat air dari tanah liat, kendi tersebut dipecahkan bersama oleh kedua
mempelai. Acara ini bermakna sebagai penolak bala dalam rumah tangga. Acara
dilanjutkan dengan:
f. Buka Panto
Buka
panto berarti buka pintu, yang bermakna permohonan izin seorang suami kepada
istrinya untuk hidup berdampingan dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Setelah itu dilaksanakan acara:
g. Huap
Lingkung
Huap
lingkung berarti kedua mempelai saling menyuapi senagai perlambang keduanya
akan saling mengasihi. Kemudian kedua mempelai disuapi oleh orang tua kedua
belah pihak sebagai gambaran kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya dan
merupakan suapan terakhir dari orang tua. Pada acara huap lingkung diakhiri
dengan rebutan bakakak hayam (panggang ayam) sebagai gambaran bahwa rezeki yang
dilimpahkan oleh Tuhan hendaknya dinikmati dan disyukuri bersama-sama.
Setelah
usai upacara adat ini dilakukan dengan penerimaan ucapan selamat dan do’a restu
dari seluruh keluarga, handai taulan dan para tamu. Untuk menuju tempat
pelaminan pengantin disambut dengan kesenian yang dipandu oleh seorang lengser,
lengser inilah yang akan membawa pengantin dan kedua orang tuanya ke kursi
pelaminan. Dalam perjalanan menuju kursi pelaminan, dilakasanakan prosesi seni
tari dalam bentuk olah payung kebesaran, umbul-umbul yang diiringi oleh para
penari. Sesampainya di kursi pelaminan disuguhkan tarian persembahan.
Selanjutnyapara undangan dipersilahkan untuk memberikan ucapan selamat dan do’a
restu kepada kedua mempelai.
Sunda
Wiwitan adalah agama
atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur
(animisme
dan dinamisme)
yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.[1]
Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga
memiliki unsur monoteisme
purba, yaitu di atas para dewata
dan hyang
dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud
yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut
ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten
dan Jawa Barat,
seperti di Kanekes,
Lebak,
Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung
Naga; Cirebon;
dan Cigugur,
Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda
Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang
Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu
dan Islam.
Ajaran
Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng
karesian, sebuah kitab yang berasal dari
zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan
dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan
Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang
Kanekes bukanlah penganut Hinduatau
Buddha,
melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh
unsur-unsur ajaran Hindu,
dan hingga batas tertentu, ajaran Islam.[2]
Dalam Carita Parahyangan
kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Mitologi dan sistem kepercayaan
Kekuasaan
tertinggi berada pada Sang Hyang
Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut
sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan
Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa
dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk
kepada Batara Seda Niskala.[3]
Ada
tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun
mengenai mitologi orang Kanekes:
Buana Nyungcung:
tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
Buana Panca
Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
Buana Larang:
neraka, letaknya paling bawah
Antara
Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun
dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut
kropak 630 bernama Alam Kahyangan
atau Mandala Hyang.
Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi
Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan
Ambu.
Sang
Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari
tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur
orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di
berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan)
batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Filosofi
Paham
atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat
dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan
sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah
pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada
dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri
Bangsa.
Cara
Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada
lima unsur yang termasuk di dalamnya:
Welas asih:
cinta kasih
Undak usuk:
tatanan dalam kekeluargaan
Tata krama:
tatanan perilaku
Budi bahasa dan
budaya
Wiwaha yudha
naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum
melakukannya
Kalau
satu saja cara ciri manusia yang lain tidak sesuai dengan hal tersebut maka
manusia pasti tidak akan melakukannya.
Prinsip
yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang
mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu
yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda
Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri
Bangsa yang terdiri dari:
Rupa
Adat
Bahasa
Aksara
Budaya
Kedua
prinsip ini tidak secara pasti tersurat di dalam Kitab Sunda Wiwitan, yang
bernama Siksa Kanda-ng karesian. Namun secara mendasar, manusia sebenarnya
justru menjalani hidupnya dari apa yang tersirat. Apa yang tersurat akan selalu
dapat dibaca dan dihafalkan. Hal tersebut tidak memberi jaminan bahwa manusia
akan menjalani hidupnya dari apa yang tersurat itu. Justru, apa yang
tersiratlah yang bisa menjadi penuntun manusia di dalam kehidupan.
Awalnya,
Sunda Wiwitan tidak mengajarkan banyak tabu kepada para pemeluknya. Tabu utama
yang diajarkan di dalam agama Sunda ini hanya ada dua.
Yang tidak
disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain
Yang bisa
membahayakan diri sendiri
Akan
tetapi karena perkembangannya, untuk menghormati tempat suci dan keramat
(Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati
serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda
Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu
(dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan
oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal
sebagai orang Baduy Dalam.
Tradisi
Dalam
ajaran Sunda Wiwitan penyampaian doa dilakukan melalui nyanyian pantun dan
kidung serta gerak tarian. Tradisi ini dapat dilihat dari upacara syukuran
panen padi dan perayaan pergantian tahun yang berdasarkan pada penanggalan
Sunda yang dikenal dengan nama Perayaan Seren
Taun. Di berbagai tempat di Jawa Barat,
Seren Taun selalu berlangsung meriah dan dihadiri oleh ribuan orang. Perayaan
Seren Taun dapat ditemukan di beberapa desa seperti di Kanekes,
Lebak,
Banten;
Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok,
Sukabumi; Kampung
Naga; dan Cigugur,
Kuningan. Di Cigugur, Kuningan sendiri,
satu daerah yang masih memegang teguh budaya Sunda, mereka yang ikut merayakan
Seren Taun ini datang dari berbagai penjuru negeri.
Meskipun sudah
terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar
Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap
dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang
Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.[4]
Tempat suci
Tempat
suci atau tempat pemujaan yang dianggap sakral atau keramat dalam Agama Sunda
Wiwitan adalah Pamunjungan atau disebut Kabuyutan. Pamunjungan merupakan punden berundak
yang biasanya terdapat di bukit dan di Pamunjungan ini biasanya terdapat
Menhir, Arca, Batu Cengkuk, Batu Mangkok, Batu Pipih dan lain-lain.
Pamunjungan
atau Kabuyutan banyak sekali di Tatar Sunda seperti Balay Pamujan Genter Bumi,
Situs Cengkuk, Gunung Padang, Kabuyutan Galunggung, Situs Kawali dll. Di Bogor
sendiri sebagi Pusat Nagara Sunda dan Pajajaran dahulu terdapat Banyak
Pamunjungan beberapa diantaranya adalah Pamunjungan Rancamaya nama dahulunya
adalah Pamunjungan Sanghyang Padungkukan yang disebut Bukit Badigul namun
sayang saat ini Pamunjungan tersebut sudah tidak ada lagi digantikan oleh
Lapangan Golf.
Pada
masanya Pamunjungan yang paling besar dan mewah adalah Pamunjungan Kihara Hyang
yang berlokasi di Leuweung (hutan) Songgom, atau Balay Pamunjungan Mandala
Parakan Jati yang saat ini lokasinya digunakan sebagai Kampung Budaya Sindang
Barang.
Dengan
banyaknya Pamunjungan atau Kabuyutan tersebut di Tatar Sunda membuktikan bahwa
agama yang dianut atau agama mayoritas orang Sunda dahulu adalah Agama Jati
Sunda atau Sunda Wiwitan, ini adalah jawaban kenapa di Sunda sangat jarang
sekali diketemukan Candi. Namun begitu, Hindu dan Budha berkembang baik di
Sunda bahkan Raja Salaka Nagara juga Tarumanagara
adalah seorang Hindu yang taat. Candi Hindu yang ditemukan di Tatar Sunda
adalah Candi
Cangkuang yang merupakan candi Hindu
pemujaan Siwa
dan Percandian Batujaya
di Karawang yang merupakan kompleks bangunan stupa Buddha.
Rumah adat
sunda, suhunan jolopong, badak heuay, capit gunting, tagog anjing, julung
ngapak
Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup)
Parahu kumureb, yaitu bentuk bangunan rumah yang atapnya (suhunan) membentuk perahu terbalik (telungkup)
gambar :
Suhunan
jolopong, yaitu bentuk bangunan yang atapnya (suhunan) memanjang sering disebut
suhunan panjang atau gagajahan.
gambar :
Tagog anjing,
yaitu bentuk bangunan mirip dengan bentuk badak heuay, tetapi ada sambungan
kebagian depan dan sedikit turun. Jadi bangunannya tekuk (ngeluk) seperti anjng
jongkok.
gambar :
Badak heuay,
yaitu bentuk bangunan seperti saung tidak memakai wuwung sambungan atap
(hateup) depan dengan belakang seperti badak sedang membuka mulutnya (menguap,
arti sunda heuay).
Capit gunting,
yaitu bentuk bangunan rumah yang atap (suhunan) bagian ujung belakang atas dan
depan atas menggunakan kayu atau bambu yang bentuknya menyilang dibagian
atasnya seperti gunting.
gambar :

Komentar