Babangkongan, Permainan Tradisional dari Kabupaten Bandung yang Hilang ditelan zaman



Babangkongan, Permainan Tradisional dari Kabupaten Bandung yang Hilang ditelan zaman
Oleh : Naufal Dholifun Nafsi
Nama Permainan
            Kata “babangkongan” adalah kata jadian/dwipurwa dengan akhiran -an yang artinya : meniru, menjadi seperti bangkong (Katak). Permainan ini memang dalam pelaksanaannya adalah di mana seorang anak berbuat seperti bangkong (Katak) setelah diolah oleh teman-temannya.
Hubungan antara Permainan dengan Peristiwa Lain2
            Sebagaimana halnya dengan permainan-permainan lainnya yang biasa dilakukan oleh anak-anak kampung/gembala, maka permainan ini merupakan permainan penenggang waktu dan hiburan  di kala anak-anak mengembalakan ternaknya.
Latar Belakang Sosial Budaya
            Permainan yang memerlukan kerjasama antara calon bangkong/katak dengan teman-temannya sepermainan  untuk mencapai tujuan yaitu : menjadikan anak calon bangkong itu seolah-olah bangkong sebenarnya dengan jalan membacakan mantera-mantera/jangjawokan yang di ucapkan oleh teman-temannya.
Latar Belakang Sejarah
            Pada hakikatnya permainan ini memerlukan “Tenaga Luar” artinya bukan tenaga manusia bias. Jadi permainan ini harus dapat meminjam (ngayuh) kekuatan gaib. Dalam hal ini memang di luar rasional, tetapi pada kenyataannya demikian, peristiwa ini dapat di kaitkan kepercayaan.
            Sebagaimana diketahui bahwa pada sebelum Agama Islam masuk ke daerah Jawa Barat, maka masyarakat di daerah Jawa Barat menganut kepercayaan animisme. Hal ini rupanya sisa-sisa kepercayaanitu sebagian masih bertahan sampai tahun 40-an,termasuk digolongkan anak-anak.
            Jadi karena adanya kekuatan-kekuatan gaib, maka dalam permainan ini anak-anak itu (Anak-anak gembala di kampung) biasa nyambat/ngayuh (Mempersilahkan) kekuatan itu.., serta ternyata kekuatan itu terbukti.
            Permainan ini pada sebelum tahun 40-an banyak dilakukan di daerah-daerah Jawa Barat (Banten, Purwakart, Bogor dan Cirebon) dengan cara yang sama, yaitu dengan mempersilahkan turun/datang kekuatan gaib itu.
Peserta/Pemain-pemainnya
            Babangkongan ini terdiri dari tiga anak laki-laki dam anak perempuan (Campuran) yang berumur sekitar 5 sampai 12 tahun. Tetapi yang dijadikan bangkongnya hanya seorang saja, biasanya anak laki-laki yang berani.
Peralatan/Perlengkapan
            Untuk permainan “Babangkongan” ini diperlukan sehelai kain batik. Kain ini untuk alat menenung. Alat ini tidak perlu kain yang baik/baru, cukup dengan kain usang alat untuk mengendong/membawa kayu bakar. Jadi dapat meminjam dari anak-anak perempuan yang pada waktu itu membawanya.
Iringan Permainan
            Untuk ngayuh kekuatan gaib itu dipakai semacam jangjawoka/mantera dalam bahasa sunda berbunyi :
            Nini-nini titirisan
            Aki-aki titirisan
Dalam bahasa Indonesia kira-kira :
            Nenek-nenek mendinginkan diri
            Kakek-kakek mendinginkan diri
            Jangjawokan itu diucapkan berulang-ulang sampai si calon bangkong itu jadi bangkong/katak. Ini hanya tingkah lakunya, sedangkan yang jadi bangkong itu tetap saja manusia biasa.
Peranannya masa kini
            Permainan ini pada masa sekarang sudah kurang berperan lagi, hanya kadang-kadang di kampung yang sangat jauh ke kota ada anak-anak yang melakukannya tetapi sangat jarang. Hal ini mungkin saja karena kepercayaan kepada animisme itu sudah berkurang disebabkan oleh pengaruh Agama.
Sumber :
DepartemenPendidikandanKebudayaan, 1983.PermainanAnak-anakdaerahJawa Barat: Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surak Sawah Dadap

Asal Usul Cikuya