Nuansa Islam di Rumah Adat

Nuansa Islam di Rumah Adat
Oleh: Chintya Nur Oktavianty

Suku Sunda (Urang Sunda, aksara Sunda) adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Bayumasan). Orang Sunda tersebar diberbagai wilayah Indonesia, dengan provinsi Banten dan Jawa Barat sebagai wilayah utamanya. Begitu pula halnya mengenai  agama orang Sunda. Yaitu agama islam. Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat sunda melalui pendidikan dan dakwah. Ada hal yang menarik di suatu daerah di suku sunda yang masih melestarikan kepercayaannya di rumah adat yaitu Kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat Kampung Cikondang adalah Islam.

Rumah Adat Cikondang terletak di Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kabupaten Pangalengan. Rumah adat Cikondang, merupakan satu-satunya rumah adat yang usiannya bertahan sampai ratusan tahun. Di perkirakan rumah ini seumur dengan perkembangan agama Islam di Tatar Ukur.

Rumah Adat Cikondang berdiri sejak abad ke-17 bersamaan dengan masa-masa berkembangnya agama Islam di wilayah Kabupaten Bandung semasa kekuasaan Mataram. Warna budaya Islam itu begitu kental mengiringi berbagai kegiatan tradisi yang masih di pelihara dengan baik.

Keberadaan rumah adat, memang pada dasarnya memiliki tugas sebagai pertahanan budaya. Dan rumah adat Cikondang melaksanakan fungsi itu dengan sebaik-baiknya, selalu menapak pada akar tradisi, bersanding dengan kehidupan agama yang melatarinya. Hal ini tampak jelas dari penyelenggaraan upacara tradisional serta warna budaya lainnya yang masih di pertahankan.

Areal situs terletak di bagian dalam wilayah yang di batasi panto galagar (pagar pembatas terbuat dari bambu), yakni sebuah lahan dengan luas 3 hektar. Terdiri dari sawah dan telagan masing-masing seluas 300 tumbak. Rumah dan halaman seluas 60 tumbak, sedangkan sisanya berupa pemakaman dan hutan larangan. Bagian dalam panto galagar ini di sebut wilayah keramat, terdiri dari sebuah rumah panggung dengan arsitektur suhunan model cagak gunting, yang oleh masyarakat setempat di sebut bumi keramat.

Bumi keramat Cikondang memiliki aturan tersendiri. Bagian dalam rumah ini hanya terdiri dari tiga buah ruangan, yaitu pangkeng, kamar, dan goah. Dan di bagian luar terdapat sebuah ruangan terbuka, yang disebut tepas, yang berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu. Tempat menerima tamu sengaja dibuatkan ruangan di luar bagian rumah, karena ada pantrangan yang masih berlaku hingga kini. Bumi keramat tidak boleh dimasuki oleh wanita yang sedang haid. Begitu juga apabila penghuni bumi keramat sedang mengalami masa haid, maka terpaksa wanita penghuni rumah itu harus mengungsi dulu ke rumah yang berada di luar panto galagar sampai masa haidnya kering.

Menurut silsilah penghuni bumi keramat, dapat diketahui beberapa orang yang pernah menduduki sebagai kepala adat kampung Cikondang. Yaitu, Ma Empu (1701 M), Ma Akung (1800-an M), Anom Idi (1900-1962 M) dan sekarang Anom Samsa.

Berdirinya kampung adat Cikondang erat kaitannya dengan upaya penyelamatan dan pelestarian berbagai nilai-nilai tradisi, seperti memelihara penyelenggaraan upacara salametan lembur atau hajat lembur yang harus dilaksanakan secaa rutin setiap bulan sapar. Pada upacara ini, disyaratkan membuat nasi tumpeng sebanyak 150 tumpeng dan menyembelih ayam sebanyak 150 ekor. Selain itu juga mengadakan upacara selamatan solokan gede pada setiap bulan agustus, sehari setelah tanggal peringatan hari kemerdekaan RI dengan syarat menyembelih seekor kambing. Serta upacara hajat susukan cilamanjang. Syarat yang harus dipenuhi untuk hajat susukan ini berupa penyembelihan beberapa ekor ayam kampung. Dan setiap bulan Muharam diadakan upacara seren taun.
Pada saat kegiatan upacara ini, di pertunjukan berbagai kesenian, terutama seni beluk atau macapat dengan membawakan kisah wawancan Ahmad muhammad, wawancan Ali Muthar, Wawancan Surya Ningrat, dan Wawancan Sulanja. Seni wawancan merupakan karya sastra yang dipengaruhi oleh warna budaya Mataram yang kebanyakan isinya merupakan piwejang atau piwulang yang di sesuaikan dengan ajaran Islam. Kesenian ini pada awalnya merupakan upaya untuk mengurangi pemahaman masyarakat terhadap kesenian pantun yang didalamnya banyak menceritakan tentang ajaran-ajaran lokal pra-Islam. Dengan munculnya kesenian Wawancan, secara perlahan-lahan masyaralat pun mulai mengurangi pertunjukan pantun dan berganti dengan tokoh-tokoh yang lebih Islami.
Nuansa Islam di rumah adat Cikondang yaitu Kekhasan kampung Cikondang yang masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang "karuhun" ditandai dengan adanya bangunan tua yang menjadi pusat adat istiadat masyarakat tersebut yaitu Bumi Keramat.


Sumber;
Buku Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bandung
Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan “Jejak Islam Di Tanah Kaintar”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Babangkongan, Permainan Tradisional dari Kabupaten Bandung yang Hilang ditelan zaman

Asal Usul Cikuya

Surak Sawah Dadap